Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang
kompleks dan dinamis, segala hal semuanya sudah diatur sedemikian rupa salah
satu aturan dalam islam tersebut termaktub dalam ilmu fiqih muamalah.
Didalamnya mencakup seluruh sisi kehidupan individu dan masyarakat, baik
perekonomian, sosial kemasyarakatan, politik bernegara, serta lainnya.
Para
ulama mujtahid dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan yang setelah mereka
tidak henti-hentinya mempelajari semua yang dihadapi kehidupan manusia dari
fenomena dan permasalahan tersebut di atas dasar ushul syariat dan
kaidah-kaidahnya. Yang bertujuan untuk menjelaskan dan menjawab hukum-hukum permasalahan
tersebut supaya dapat dimanfaatkan pada masa-masanya dan setelahnya, ketika
lemahnya negara islam dan kaum muslimin dalam seluruh urusannya, termasuk juga
masalah fiqih seperti sekarang ini.
B.
Identifikasi dan Pembatasan
Masalah
Dikarenakan luasnya
bahasan mengenai fiqih muamalah ini, maka perlu kiranya kami membatasi masalah
yang akan kami sampaikan nantinya, secara garis besar batasan masalah kelompok
kami seputar definisi, pembagian dan ruang lingkup, serta sitematika dari fiqih
muamalah tersebut.
C.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian atau definisi fiqih muamalah ?
2. Bagaimana sumber dan prinsip hukum fiqih muamalah ?
3. Apa saja pembagian dan ruang lingkup fiqih muamalah ?
4. Bagaimana sistematika Fiqih Mu’amalah ?
D.
Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui lebih jelas tentang pengertian atau definisi
dari fiqih muamalah
2. Menjelaskan sumber dan prinsip hukum fiqih muamalah
3. Menguraikan pembagian dan ruang lingkup fiqih muamalah
E.
Kegunaan Pembahasan
1. Bagi kami, pembahasan ini sebagai wahana latihan pengembangan
ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam pembuatan karya tulis ilmiah.
2. Memberikan tambahan pengetahuan tentang devinisi, sumber,
prinsip dan pembagian dan ruang lingkup fiqih muamalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Fiqih Muamalah
(Hukum Perdata Islam)
Fiqih Muamalah tersusun
dari dua kata (lafadz), yaitu fiqih (الفقه) dan Muamalah (المعاملة). Lafadz yang pertama (الفقه) secara etimologi
memiliki makna pengeritan atau pemahaman,[1] sedangkan
dalam terminologi kata fiqih memiliki definisi yang beragam dari kalangan
ulama’ :
a.
Abu Hanifah memberikan memberikan
definisi definisi tentang fiqih, yaitu sebagai berikut,
معرفة
النفس مالها وما عليها
“Pengetahuan tentang hak dan kewajiban
manusia”.[2]
b.
Imam As-Syafi’i memberikan suatu
batasan fiqih sebagai berikut,
العلم
بالأحكام الشرعيّة المكتسب من أدلتها التفصيلية
“Suatu ilmu yang
membahas hukum-hukum syari’ah amaliyah (praktis) yang diperoleh dari
dalil-dalil yang terperinci”.[3]
c.
H. Lammens, S.J., guru besar
bidang bahasa Arab di Universitas Joseph, Beirut sebagaimana dikutip dalm buku Pengantar Fiqih Mu’amalah
karya Masduha Abdurrahman, memaknai
fiqih sama dengan syari’ah. Fiqih, secara bahasa menurut Lammens adalah wisdom
(hukum). Dalam pemahamannya, fiqih adalah rerum divinarum atque humanarum
notitia (pengetahuan dan batasan-batasan lembaga dan hukum baik dimensi
ketuhanan maupun dimensi manusia).[4]
d.
Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan
fiqih dengan pengetahuan tentang hukum-hukum syarar’ mengenai perbuatan manusia
yang diusahakan dari dalil-dalil yang terinci atau kumpulan hukum syara’
mengenai perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dalil yang terinci.[5]
e.
Al-Jurjani membatasi definisi
fiqih sebagai berikut,
العلم بالأحكام الشرعيّةالعمليّة من
أدلّتها التفصيليّة وهوعلم مستنبط بالرأي والإجتهادويحتاج فيه إلى النظروالتأمل
“Suatu ilmu yang
membahas hukum-hukum syari’ah amaliyah (praktis) dari dalil-dalil yang terinci
yang dihasilkan oleh pikiran atau ijtihad melalui analisis dan perenungan”.[6]
f.
Al-Amidi, seorang ulama’
Syafi’iyah, mendefinisikan fiqih sebagai ilmu tentang hukum-hukum syari’ah dari
dalil-dali yang terinci. Sementara menurut fuqaha’ Malikiyah, fiqih adalah ilmu
tentang perintah-perintah syar’iyah dalam masalah khusus yang diperoleh dari
aplikasi teori istidlal atau pencarian hukum dengan dalil.[7]
Pengertian dan definisi
fiqih sendiri pada awalnya mencakup seluruh dimensi hukum syari’at Islam, baik
yang berkenaan dengan, masalah aqidah, akhlaq, ibadah, maupun yang berkenaan
dengan masalah muamalah. Sebagaimana yang ditunjukkan dalam Al-Qur’an Surat
At-Taubah ayat 122.
$tBur šc%x. tbqãZÏB÷sßJø9$# (#rãÏÿYuŠÏ9 Zp©ù!$Ÿ2 4 Ÿwöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä. 7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuŠÏj9 ’Îû Ç`ƒÏe$!$# (#râ‘É‹YãŠÏ9ur óOßgtBöqs% #sŒÎ) (#þqãèy_u‘ öNÍköŽs9Î) óOßg¯=yès9 šcrâ‘x‹øts†
Artinya : “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi
semuanya (ke medan
perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka
itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah :122)[8]
Dari beberapa definisi
diatas, dapat ambil sebuah kesimpulan bahwa fiqih memiliki dua pengertian.
Pertama, dilihat
dari sudut pandang ilmu pengetahuan bahwa fiqih adalah sebuah pengetahuan
tentang hukum-hukum syari’at.
العلم بالأحكام الشرعيّة
“Mengetahui hukum-hukum syara’ yang alamiyah”[9]
Definisi ini menggambarkan
bahwa fiqih adalah sebuah lapangan ilmu pengetahuan yang kajiannya seputar
permasalahan syariat yang bersifat furu’iyah dan berdasarkan atas dalil-dalil tafsili
(rinci). Karena ia merupakan pengetahuan yang digali melalui penalaran dan istidlal
(penggunaan dalil) oleh si mujtahid atau para ulama’ (fuqaha’), maka ia
dapat saja menerima perubahan atau pembaharuan, karena tuntutan ruang dan
waktu.
Contoh yang sangat jelas
adalah bahwa al-Syafi’i memiliki qaul qadim (pendapat terdahulu) dan qaul
jadid (pendapat kemudian) akibat tuntutan ruang yang berbeda, yaitu
perpindahan beliau dari Baghdad
ke Mesir. Dalam konteks Islam Indonesia,
hal ini akan tampak pada kajian tentang Hukum Islam Indonesia
yang merupakan penjabaran fiqih dalam konteks Indonesia.
Kedua, fiqih
dilihat dilihat dari sudut pandang bahwa ia adalah sebuah objek kajian
pengetahuan, yakni hukum fiqih itu sendiri, pengertian ini memandang bahwa
fiqih adalah suatu rangkaian atau himpunan hukum syariat yang memiliki dasar
atau dalil yang terperinci, pengertian ini adalah sebagaimana yang dipahami
dalam istilah para ulama’ ahli fiqih (fuqaha’).
مجموعة الأحكام المشروعية في الإسلام
“Himpunan hukum-hukum amaliyah yang disyari’atkan dalam Islam”[10]
Dilihat dari objek hukumnya, fiqih terbagi menjadi
dua bagian yaitu :
1.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah seperti;
toharah, shalat, puasa, haji, zakat, nazar dan sumpah dan segala sesuatu bentuk
ibadah yang berkaitan langsung antara manusia dengan tuhannya
2.
Hukum-hukum mu’amalah yaitu hukum-hukum yang
berkaitan dengan hubungan antar manusia atau hubungan manusia dan lingkungan
sekitarnya baik yang bersifat kepentingan pribadi maupun kepentingan. Seperti
hukum-hukum perjanjian dagang, sewa menyewa dan lain-lain.
Lafadz yang kedua (المعاملة), arti lughawi dari kata ini adalah kepentingan,
sedangkan lafadz المعاملات memiliki arti hukum
syari’ yang mengatur hubungan kepentingan individu dengan yang lainnya.[11]
Menurut istilah yang dimaksud mu’amalah
adalah bagian fiqih selain ibadah yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan
interpersonal antar manusia.[12]
Mu’amalah menurut golongan Syafi’i adalah bagian fiqih untuk
urusan-urusan keduniaan selain perkawinan dan hukuman, yaitu hukum-hukum yang
mengatur hubungan manusia sesama manusia dan alam sekitarnya untuk memperoleh
kebutuhan hidupnya.
Menurut Ibnu Abidin, muamalah meliputi lima hal, yakni :
1.
Transaksi kebendaan
(Al-Mu’awadlatul maliyah)
2.
Pemberian kepercayaan (Amanat)
3.
Perkawinan (Munakahat)
4.
Urusan Persengketaan (Gugatan dan
peradilan)
5.
Pembagian warisan[13]
Apabila tidak dikaitkan
dengan lafadz fiqih (berdiri sendiri), istilah muamalah dalam kitab-kitab fiqih
adalah nama bagi suatu bentuk perjanjian (akad) tertentu, baik perjanjian
pemberian modal atau bagi laba (al-mudlarabah – alqiradl)serta perjanjian-perjanjian
lain yang berkenaan dengan harta benda.
Dalam pembahasan ini yang
dimaksud fiqih muamalah sebagaimana dikutip oleh Drs. Masduha Abdurrahman dalam
bukunya ‘Pengantar dan Asas-asas Hukum Perdata Islam (Fiqih Muamalah)’
adalah muamalah yang memiliki arti khusus, yaitu bagian fiqih yang membahas :
الأحكام المتعلقة بأفعال الناس وتعاملهم بعضهم
مع بعض في الأموال والحقوق وفصل منازعتهم
“Hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan dan perhubungan
manusia sesama manusia dalam urusan kebendaan dan hak-hak kebendaan serta
cara-cara menyelesaikan persengketaan mereka”.
Jadi, fiqih muamalah dapat
diartikan dalam dua pengertian :
1.
Fiqih muamalah dilihat dari sisi
bahwa ia adalah sebuah kesatuan hukum dan aturan-aturan tentang hubungan antar
sesama manusia dalam hal kebendaan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
2.
Fiqih muamalah dipandang sebagai
sebuah ilmu pengetahuan tentang hukum.
Dapat diambil sebuah
kesimpulan bahwa secara garis besar definisi atau pengertian fiqih muamalah yaitu, hukum-hukum yang berkaitan
dengan tata cara berhubungan antar sesama
manusia, baik hubungan tersebut bersifat kebendaan maupun dalam bentuk
perjanjian perikatan. Fiqih mu’malah adalah salah satu pembagian lapangan
pembahasan fiqih selain yang berkaitan dengan ibadah, artinya lapangan
pembahsan hukum fiqih mu’amalah adalah hubungan interpersonal antar sesama
manusia, bukan hubungan vertikal manusia dengan tuhannya (ibadah mahdloh)
Fiqih mu’amalah dapat juga
dikatakan sebagai hukum perdata Islam, hanya saja bila dibandingkan dengan
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW. burgerlijk wetboek) yang juga
berkaitan dengan hukum personal, fiqih muamalah atau dapat dikatakan sebagai
hukum perdata Islam hanya mencukupkan pembahasannya pada hukum perikatan (verbintenissen
recht), tidak membahas hukum perorangan (personen recht) dan hukum
kebendaan (zakenrecht) secara khusus.
B.
Sumber dan Prinsip Hukum
Fiqih Muamalah (Hukum Perdata Islam)
1.
Sumber Hukum Fiqih Mu’amalah
Sumber-sumber fiqih secara
umum berasal dari dua sumber utama, yaitu dalil naqli yang berupa Al-Qur’an dan
Al-Hadits, hal ini sebagaimana
dimaksud dalam definisi fiqih yang disampaikan oleh ulama’ golongan Syafi’i
sebagai Al-Adillati Al-tafshiliyyati (dalil-dalil yang terperinci), dan
dalil aqli yang berupa akal (ijtihad). Penerapan sumber fiqih islam ke dalam
tiga sumber, yaitu Al-Quran, Al-Hadits dan ijtihad.
a. Al-Qur’an
Al-Quran
adalah kitab Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dengan bahasa arab
yang memiliki tujuan kebaikan dan perbaikan manusia, yang berlaku di dunia dan
akhirat. Al-Quran merupakan referensi utama umat islam, termasuk di dalamnya
masalah hukum dan perundangundangan. sebagai sumber hukum yang utama, Al-Quran
dijadikan patokan pertama oleh umat islam dalam menemukan dan menarik hukum
suatu perkara dalam kehidupan. Ayat Al Qur’an yang membahas tentang Muamalah
ini bisa kita lihat pada surat
Al-Baqarah ayat 188 :
Ÿwur (#þqè=ä.ù's?
Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ (#qä9ô‰è?ur !$ygÎ/
’n<Î)
ÏQ$¤6çtø:$#
(#qè=à2ù'tGÏ9 $Z)ƒÌsù ô`ÏiB ÉAºuqøBr&
Ĩ$¨Y9$#
ÉOøOM}$$Î/ óOçFRr&ur
tbqßJn=÷ès?
Artinya
: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara
kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu
kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang
lain itu dengan (jalan berbuat)dosa, Padahal kamu mengetahui.” (QS, Al-Baqarah
: 188).[14]
dan Surat An-Nisa’ ayat 29
:
$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu‘
Artinya
: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu;
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (QS, An-Nisa : 29)[15]
b. Al-Hadits
Al-Hadits
adalah segala yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik berupa
perkataan,perbuatan,maupun ketetapan. Al-Hadits merupakan sumber fiqih kedua
setelah Al-Quran yang berlaku dan mengikat bagi umat islam.
c. Ijma’ Qiyas
Ijma’
adalah kesepakatan mujtahid terhadap suatu hukum syar’i dalam suatu masa
setelah wafatnya Rasulullah SAW. Suatu hukum syar’i agar bisa dikatakan sebagai
ijma’, maka penetapan kesepakatan tersebut harus dilakukan oleh semua mujtahid,
walau ada pendapat lain yang menyatakan bahwa ijma’ bisa dibentuk hanya dengan
kesepakatan mayoritas mujtahid saja. Sedangkan qiyas adalah kiat untuk
menetapkan hukum pada kasus baru yang tidak terdapat dalam nash (Al-Qur’an
maupun Al-Hadist), dengan cara menyamakan pada kasus serupa yang sudah terdapat
dalam nash.
5 comments
lengkappp
good,, (y)
terima kasih atas penjelasanya
thanks,sangat membantu
:I:
Posting Komentar