Kamis, 06 Juni 2013

Fiqih muamalah

.

Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama yang kompleks dan dinamis, segala hal semuanya sudah diatur sedemikian rupa salah satu aturan dalam islam tersebut termaktub dalam ilmu fiqih muamalah. Didalamnya mencakup seluruh sisi kehidupan individu dan masyarakat, baik perekonomian, sosial kemasyarakatan, politik bernegara, serta lainnya.
Para ulama mujtahid dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan yang setelah mereka tidak henti-hentinya mempelajari semua yang dihadapi kehidupan manusia dari fenomena dan permasalahan tersebut di atas dasar ushul syariat dan kaidah-kaidahnya. Yang bertujuan untuk menjelaskan dan menjawab hukum-hukum permasalahan tersebut supaya dapat dimanfaatkan pada masa-masanya dan setelahnya, ketika lemahnya negara islam dan kaum muslimin dalam seluruh urusannya, termasuk juga masalah fiqih seperti sekarang ini.
B.                 Identifikasi dan Pembatasan Masalah
Dikarenakan luasnya bahasan mengenai fiqih muamalah ini, maka perlu kiranya kami membatasi masalah yang akan kami sampaikan nantinya, secara garis besar batasan masalah kelompok kami seputar definisi, pembagian dan ruang lingkup, serta sitematika dari fiqih muamalah tersebut.

C.                Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian atau definisi fiqih muamalah ?
2.      Bagaimana sumber dan prinsip hukum fiqih muamalah ?
3.      Apa saja pembagian dan ruang lingkup fiqih muamalah ?
4.      Bagaimana sistematika Fiqih Mu’amalah ?
D.                Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui lebih jelas tentang pengertian atau definisi dari fiqih muamalah
2.      Menjelaskan sumber dan prinsip hukum fiqih muamalah
3.      Menguraikan pembagian dan ruang lingkup fiqih muamalah
E.                 Kegunaan Pembahasan
1.      Bagi kami, pembahasan ini sebagai wahana latihan pengembangan ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam pembuatan karya tulis ilmiah.
2.      Memberikan tambahan pengetahuan tentang devinisi, sumber, prinsip dan pembagian dan ruang lingkup fiqih muamalah.
 
BAB II
PEMBAHASAN
A.                Pengertian Fiqih Muamalah (Hukum Perdata Islam)
Fiqih Muamalah tersusun dari dua kata (lafadz), yaitu fiqih (الفقه) dan Muamalah (المعاملة). Lafadz yang pertama (الفقه) secara etimologi memiliki makna pengeritan atau pemahaman,[1] sedangkan dalam terminologi kata fiqih memiliki definisi yang beragam dari kalangan ulama’ :
a.       Abu Hanifah memberikan memberikan definisi definisi tentang fiqih, yaitu sebagai berikut,
معرفة النفس مالها وما عليها
“Pengetahuan tentang hak dan kewajiban manusia”.[2]
b.      Imam As-Syafi’i memberikan suatu batasan fiqih sebagai berikut,
العلم بالأحكام الشرعيّة المكتسب من أدلتها التفصيلية
“Suatu ilmu yang membahas hukum-hukum syari’ah amaliyah (praktis) yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci”.[3]
c.       H. Lammens, S.J., guru besar bidang bahasa Arab di Universitas Joseph, Beirut sebagaimana  dikutip dalm buku Pengantar Fiqih Mu’amalah karya  Masduha Abdurrahman, memaknai fiqih sama dengan syari’ah. Fiqih, secara bahasa menurut Lammens adalah wisdom (hukum). Dalam pemahamannya, fiqih adalah rerum divinarum atque humanarum notitia (pengetahuan dan batasan-batasan lembaga dan hukum baik dimensi ketuhanan maupun dimensi manusia).[4]
d.      Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan fiqih dengan pengetahuan tentang hukum-hukum syarar’ mengenai perbuatan manusia yang diusahakan dari dalil-dalil yang terinci atau kumpulan hukum syara’ mengenai perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dalil yang terinci.[5]
e.       Al-Jurjani membatasi definisi fiqih sebagai berikut,
العلم بالأحكام الشرعيّةالعمليّة من أدلّتها التفصيليّة وهوعلم مستنبط بالرأي والإجتهادويحتاج فيه إلى النظروالتأمل
“Suatu ilmu yang membahas hukum-hukum syari’ah amaliyah (praktis) dari dalil-dalil yang terinci yang dihasilkan oleh pikiran atau ijtihad melalui analisis dan perenungan”.[6]
f.       Al-Amidi, seorang ulama’ Syafi’iyah, mendefinisikan fiqih sebagai ilmu tentang hukum-hukum syari’ah dari dalil-dali yang terinci. Sementara menurut fuqaha’ Malikiyah, fiqih adalah ilmu tentang perintah-perintah syar’iyah dalam masalah khusus yang diperoleh dari aplikasi teori istidlal atau pencarian hukum dengan dalil.[7]
Pengertian dan definisi fiqih sendiri pada awalnya mencakup seluruh dimensi hukum syari’at Islam, baik yang berkenaan dengan, masalah aqidah, akhlaq, ibadah, maupun yang berkenaan dengan masalah muamalah. Sebagaimana yang ditunjukkan dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 122.
 $tBur šc%x. tbqãZÏB÷sßJø9$# (#rãÏÿYuŠÏ9 Zp©ù!$Ÿ2 4 Ÿwöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä. 7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuŠÏj9 Îû Ç`ƒÏe$!$# (#râÉYãŠÏ9ur óOßgtBöqs% #sŒÎ) (#þqãèy_u öNÍköŽs9Î) óOßg¯=yès9 šcrâxøts  
Artinya : “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah :122)[8]
Dari beberapa definisi diatas, dapat ambil sebuah kesimpulan bahwa fiqih memiliki dua pengertian.
Pertama, dilihat dari sudut pandang ilmu pengetahuan bahwa fiqih adalah sebuah pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at.
العلم بالأحكام الشرعيّة
“Mengetahui hukum-hukum syara’ yang alamiyah”[9]
Definisi ini menggambarkan bahwa fiqih adalah sebuah lapangan ilmu pengetahuan yang kajiannya seputar permasalahan syariat yang bersifat furu’iyah dan berdasarkan atas dalil-dalil tafsili (rinci). Karena ia merupakan pengetahuan yang digali melalui penalaran dan istidlal (penggunaan dalil) oleh si mujtahid atau para ulama’ (fuqaha’), maka ia dapat saja menerima perubahan atau pembaharuan, karena tuntutan ruang dan waktu.
Contoh yang sangat jelas adalah bahwa al-Syafi’i memiliki qaul qadim (pendapat terdahulu) dan qaul jadid (pendapat kemudian) akibat tuntutan ruang yang berbeda, yaitu perpindahan beliau dari Baghdad ke Mesir. Dalam konteks Islam Indonesia, hal ini akan tampak pada kajian tentang Hukum Islam Indonesia yang merupakan penjabaran fiqih dalam konteks Indonesia.
Kedua, fiqih dilihat dilihat dari sudut pandang bahwa ia adalah sebuah objek kajian pengetahuan, yakni hukum fiqih itu sendiri, pengertian ini memandang bahwa fiqih adalah suatu rangkaian atau himpunan hukum syariat yang memiliki dasar atau dalil yang terperinci, pengertian ini adalah sebagaimana yang dipahami dalam istilah para ulama’ ahli fiqih (fuqaha’).
مجموعة الأحكام المشروعية في الإسلام
“Himpunan hukum-hukum amaliyah yang disyari’atkan dalam Islam”[10]
Dilihat dari objek hukumnya, fiqih terbagi menjadi dua bagian yaitu :
1.      Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah seperti; toharah, shalat, puasa, haji, zakat, nazar dan sumpah dan segala sesuatu bentuk ibadah yang berkaitan langsung antara manusia dengan tuhannya
2.      Hukum-hukum mu’amalah yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan hubungan antar manusia atau hubungan manusia dan lingkungan sekitarnya baik yang bersifat kepentingan pribadi maupun kepentingan. Seperti hukum-hukum perjanjian dagang, sewa menyewa dan lain-lain.
Lafadz yang kedua (المعاملة), arti lughawi dari kata ini adalah kepentingan, sedangkan lafadz المعاملات memiliki arti hukum syari’ yang mengatur hubungan kepentingan individu dengan yang lainnya.[11]
Menurut istilah yang dimaksud mu’amalah adalah bagian fiqih selain ibadah yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan interpersonal antar manusia.[12]
Muamalah menurut golongan Syafi’i adalah bagian fiqih untuk urusan-urusan keduniaan selain perkawinan dan hukuman, yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia sesama manusia dan alam sekitarnya untuk memperoleh kebutuhan hidupnya.
Menurut Ibnu Abidin, muamalah meliputi lima hal, yakni :
1.      Transaksi kebendaan (Al-Mu’awadlatul maliyah)
2.      Pemberian kepercayaan (Amanat)
3.      Perkawinan (Munakahat)
4.      Urusan Persengketaan (Gugatan dan peradilan)
5.      Pembagian warisan[13]
Apabila tidak dikaitkan dengan lafadz fiqih (berdiri sendiri), istilah muamalah dalam kitab-kitab fiqih adalah nama bagi suatu bentuk perjanjian (akad) tertentu, baik perjanjian pemberian modal atau bagi laba (al-mudlarabah – alqiradl)serta perjanjian-perjanjian lain yang berkenaan dengan harta benda.
Dalam pembahasan ini yang dimaksud fiqih muamalah sebagaimana dikutip oleh Drs. Masduha Abdurrahman dalam bukunya ‘Pengantar dan Asas-asas Hukum Perdata Islam (Fiqih Muamalah)’ adalah muamalah yang memiliki arti khusus, yaitu bagian fiqih yang membahas :
الأحكام المتعلقة بأفعال الناس وتعاملهم بعضهم مع بعض في الأموال والحقوق وفصل منازعتهم
“Hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan dan perhubungan manusia sesama manusia dalam urusan kebendaan dan hak-hak kebendaan serta cara-cara menyelesaikan persengketaan mereka”.
Jadi, fiqih muamalah dapat diartikan dalam dua pengertian :
1.      Fiqih muamalah dilihat dari sisi bahwa ia adalah sebuah kesatuan hukum dan aturan-aturan tentang hubungan antar sesama manusia dalam hal kebendaan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
2.      Fiqih muamalah dipandang sebagai sebuah ilmu pengetahuan tentang hukum.
Dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa secara garis besar definisi atau pengertian fiqih  muamalah yaitu, hukum-hukum yang berkaitan dengan tata cara berhubungan antar sesama  manusia, baik hubungan tersebut bersifat kebendaan maupun dalam bentuk perjanjian perikatan. Fiqih mu’malah adalah salah satu pembagian lapangan pembahasan fiqih selain yang berkaitan dengan ibadah, artinya lapangan pembahsan hukum fiqih mu’amalah adalah hubungan interpersonal antar sesama manusia, bukan hubungan vertikal manusia dengan tuhannya (ibadah mahdloh)
Fiqih mu’amalah dapat juga dikatakan sebagai hukum perdata Islam, hanya saja bila dibandingkan dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW. burgerlijk wetboek) yang juga berkaitan dengan hukum personal, fiqih muamalah atau dapat dikatakan sebagai hukum perdata Islam hanya mencukupkan pembahasannya pada hukum perikatan (verbintenissen recht), tidak membahas hukum perorangan (personen recht) dan hukum kebendaan (zakenrecht) secara khusus.
B.                 Sumber dan Prinsip Hukum Fiqih Muamalah (Hukum Perdata Islam)
1.                  Sumber Hukum Fiqih Mu’amalah
Sumber-sumber fiqih secara umum berasal dari dua sumber utama, yaitu dalil naqli yang berupa Al-Qur’an dan Al-Hadits, hal ini sebagaimana dimaksud dalam definisi fiqih yang disampaikan oleh ulama’ golongan Syafi’i sebagai Al-Adillati Al-tafshiliyyati (dalil-dalil yang terperinci), dan dalil aqli yang berupa akal (ijtihad). Penerapan sumber fiqih islam ke dalam tiga sumber, yaitu Al-Quran, Al-Hadits dan ijtihad.
a.       Al-Qur’an
Al-Quran adalah kitab Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dengan bahasa arab yang memiliki tujuan kebaikan dan perbaikan manusia, yang berlaku di dunia dan akhirat. Al-Quran merupakan referensi utama umat islam, termasuk di dalamnya masalah hukum dan perundangundangan. sebagai sumber hukum yang utama, Al-Quran dijadikan patokan pertama oleh umat islam dalam menemukan dan menarik hukum suatu perkara dalam kehidupan. Ayat Al Qur’an yang membahas tentang Muamalah ini bisa kita lihat pada surat Al-Baqarah ayat 188 :
Ÿwur (#þqè=ä.ù's? Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ (#qä9ôè?ur !$ygÎ/ n<Î) ÏQ$¤6çtø:$# (#qè=à2ù'tGÏ9 $Z)ƒÌsù ô`ÏiB ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Y9$# ÉOøOM}$$Î/ óOçFRr&ur tbqßJn=÷ès?
Artinya : “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)dosa, Padahal kamu mengetahui.” (QS, Al-Baqarah : 188).[14]
dan Surat An-Nisa’ ayat 29 :
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (QS, An-Nisa : 29)[15]
b.      Al-Hadits
Al-Hadits adalah segala yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik berupa perkataan,perbuatan,maupun ketetapan. Al-Hadits merupakan sumber fiqih kedua setelah Al-Quran yang berlaku dan mengikat bagi umat islam.
c.       Ijma’ Qiyas
Ijma’ adalah kesepakatan mujtahid terhadap suatu hukum syar’i dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW. Suatu hukum syar’i agar bisa dikatakan sebagai ijma’, maka penetapan kesepakatan tersebut harus dilakukan oleh semua mujtahid, walau ada pendapat lain yang menyatakan bahwa ijma’ bisa dibentuk hanya dengan kesepakatan mayoritas mujtahid saja. Sedangkan qiyas adalah kiat untuk menetapkan hukum pada kasus baru yang tidak terdapat dalam nash (Al-Qur’an maupun Al-Hadist), dengan cara menyamakan pada kasus serupa yang sudah terdapat dalam nash.

5 comments

Unknown mengatakan...

lengkappp

uumAnugerah24 mengatakan...

good,, (y)

Aris mengatakan...

terima kasih atas penjelasanya

Unknown mengatakan...

thanks,sangat membantu

silvi vergiano maherra mengatakan...

:I:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar

 

Followers

About Me